Senin, 16 September 2013

Selamat jalan wahai Guru kami tercinta Habibana Munzir bin Fuad Al Musawa..



CERITA TITIK AWAL PERTEMUAN (Alm) HABIBANA MUNZIR DENGAN GURU BELIAU AL HABIB UMAR...

(silahkan di bagikan)

tentang Habib Munzir Almusawa..

##

Kebahagiaan dan kesejukan
rahmat Nya semoga selalu
menaungi hari-hari anda.
Saudaraku yang kumuliakan, Saya adalah seorang anak
yang sangat dimanja oleh
ayah saya. Ayah saya selalu
memanjakan saya lebih dari
anaknya yang lain, namun di
masa baligh, justru saya yang putus sekolah. Semua kakak
saya wisuda, ayah bunda saya
bangga pada mereka, dan
kecewa pada saya, karena
saya malas sekolah,

saya lebih
senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Alhabib
Umar bin Hud Alalttas, dan
Majelis taklim kamis sore di
Empang Bogor. Masa itu yang
mengajar adalah Al Marhum Al
Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas
dengan kajian Fathul Baari.
Sisa hari-hari saya adalah
bershalawat 1000 siang 1000
malam, zikir beribu kali, dan
puasa nabi daud as, dan shalat malam berjam-jam.

Saya pengangguran dan
sangat membuat ayah bunda
malu. Ayah saya 10 tahun
belajar dan tinggal di Makkah.
Guru beliau adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Alwi Al
Malikiy, ayah dari Al Marhum
Al Allamah Assayyid Muhammad
bin Alwi Al Malikiy. Ayah saya
juga sekolah di Amerika
serikat dan mengambil gelar sarjana di New York
University.

Almarhum ayah sangat malu,
beliau mumpuni dalam agama
dan mumpuni dalam
kesuksesan dunia. Beliau berkata pada saya, “Kau ini
mau jadi apa? Jika mau
agama maka belajarlah dan
tuntutlah ilmu sampai keluar
negeri. Jika ingin mendalami
ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun
saranku tuntutlah ilmu agama,
aku sudah mendalami
keduanya dan aku tak
menemukan keberuntungan
apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat
menyanjung negeri barat,
walau aku sudah lulusan New
York University, tetap aku
tidak bisa sukses di dunia
kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan
jabatan, dan aku menghindari
itu.”

Maka ayahanda almarhum
hidup dalam kesederhanaan di
Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa Barat. Beliau lebih senang
menyendiri dari Ibu Kota,
membesarkan anak-anaknya,
mengajari anak2nya mengaji,
ratib, dan shalat berjamaah.
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda
karena boleh dikatakan: dunia
tidak akhiratpun tidak.

Namun
saya sangat mencintai Rasul
saw, menangis merindukan
Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam
mimpi. Rasul saw selalu
menghibur saya jika saya
sedih, suatu waktu saya mimpi
bersimpuh dan memeluk lutut
beliau saw, dan berkata, “Wahai Rasulullah saw aku
rindu padamu, jangan
tinggalkan aku lagi, butakan
mataku ini asal bisa jumpa
denganmu, ataukan matikan
aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini.”
Rasul saw menepuk bahu saya
dan berkata, “Munzir,
tenanglah! Sebelum usiamu
mencapai 40 tahun kau sudah
jumpa denganku.” maka saya terbangun.

Akhirnya karena ayah
pensiun, maka ibunda
membangun losmen kecil di
depan rumah berupa 5 kamar
saja. Di sewakan pada orang yang baik-baik, untuk biaya
nafkah, dan saya adalah
pelayan losmen ibunda saya.
Setiap malam saya jarang
tidur, duduk termenung di
kursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan kursi
kecil mirip pos satpam, sambil
menanti tamu, sambil
tafakkur, merenung, melamun,
berdzikir, menangis, dan
shalat malam. Demikian malam- malam saya lewati.
Siang hari saya puasa Nabi
Daud as, dan terus dilanda
sakit asma yang parah, maka
itu semakin membuat ayah
bunda kecewa.

Berkata ibunda saya, “Kalau kata orang, jika
banyak anak, mesti ada satu
yang gagal, ibu tak mau
percaya pada ucapan itu.”
tapi apakah ucapan itu
kebenaran? Saya terus menjadi pelayan di
losmen itu, menerima tamu,
memasang seprei, menyapu
kamar, membersihkan toilet,
membawakan makanan dan
minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih,
atau nasi goreng buatan
ibunda jika dipesan tamu.

Sampai semua kakak saya
lulus sarjana, saya kemudian
tergugah untuk mondok. Maka saya pesantren di Hb Umar
bin Abdurrahman Assegaf di
Bukit Duri Jakarta Selatan.
Namun hanya dua bulan saja,
saya tidak betah dan sakit-
sakitan karena asma terus kambuh. Maka saya pulang.
Ayah makin malu, bunda makin
sedih, lalu saya privat saja
kursus Bahasa Arab di Kursus
Bahasa Arab Assalafi, pimpinan
Almarhum Hb Bagir Alattas, ayahanda dari Hb Hud Alattas
yang kini sering hadir di
majelis kita di Almunawar.
Saya harus pulang pergi
Jakarta-Cipanas yang saat itu
ditempuh dalam 2-3 jam, dg ongkos sendiri, demikian
setiap dua kali seminggu.
ongkos itu ya dari losmen
tersebut.

Saya selalu hadir maulid di
almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud alattas yang
saat itu di Cipayung. Jika tak
ada ongkos maka saya
numpang truk dan sering
hujan-hujanan pula.
Sering saya datang ke maulid beliau malam jumat dalam
keadaan basah kuyup dan
saya diusir oleh pembantu
dirumah beliau, karena karpet
tebal dan mahal itu sangat
bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah
menginjaknya. Saya terpaksa
berdiri saja berteduh di
bawah pohon sampai hujan
berhenti dan tamu-tamu
berdatangan. Maka saya duduk di luar teras saja
karena baju basah dan takut
dihardik sang penjaga.

Saya sering pula ziarah ke
Luar Batang, makam Al Habib
Husein bin Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya datang lupa
membawa peci, karena datang
langsung dari cipanas, maka
saya berkata dalam hati,
“Wahai Allah, aku datang
sebagai tamu seorang wali Mu, tak beradab jika aku
masuk ziarah tanpa peci. Tapi
uangku pas-pasan, dan aku
lapar, kalau aku beli peci
maka aku tak makan dan
ongkos pulangku kurang.” Maka saya memutuskan beli
peci berwarna hijau, karena
itu yang termurah saat itu di
emperan penjual peci. Saya
membelinya dan masuk
berziarah. Sambil membaca yaasin untuk dihadiahkan
pada almarhum, saya
menangisi kehidupan saya
yang penuh ketidaktentuan,
mengecewakan orang tua,
dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu
dicemooh, mereka berkata,
“Kakak-kakakmu semua
sukses. Ayahmu lulusan
Makkah dan pula New York
University, kok anaknya centeng losmen.”

Maka saya mulai menghindari
kerabat. Saat lebaranpun
saya jarang berani datang,
karena akan terus diteror
dan dicemooh. Wal hasil dalam tangis itu saya juga berkata
dalam hati, “Wahai wali Allah,
aku tamumu, aku membeli peci
untuk beradab padamu,
hamba yang shalih disisi Allah,
pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar
dan tak cukup ongkos
pulang.”
Lalu dalam saya merenung,
datanglah rombongan teman
teman saya yang pesantren di Hb Umar bin Abdurrahman
Assegaf dengan satu mobil.
Mereka senang jumpa saya,
sayapun ditraktir makan. Saya
langsung teringat ini berkah
saya beradab di makam wali Allah.”

Lalu saya ditanya dengan
siapa dan mau kemana. Saya
katakan saya sendiri dan mau
pulang ke kerabat ibu saya
saja di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jaksel. Mereka
berkata, “Ayo bareng saja,
kita antar sampai Kebon
Nanas.” maka sayapun
semakin bersyukur pada Allah
karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke
Cipanas.
Saya sampai larut malam di
kediaman bibi dari ibu saya, di
Pasar Sawo, Kebon Nanas.

Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun
pulang ke Cipanas.
Tak lama saya berdoa, “Wahai
Allah, pertemukan saya
dengan guru dari orang yang
paling dicintai Rasul saw.” maka tak lama, saya masuk
pesantren Al Habib Hamid
Nagib bin Syeikh Abubakar di
Bekasi timur, dan setiap saat
mahal qiyam maulid saya
menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul
saw, dan dipertemukan
dengan guru yang paling
dicintai Rasul saw. Dalam
beberapa bulan saja
datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib
Umar bin Hafidh ke pondok
itu, kunjungan pertama beliau
yaitu pada 1994.

Selepas beliau menyampaikan
ceramah, beliau melirik saya dengan tajam. Saya hanya
menangis memandangi wajah
sejuk itu, lalu saat beliau
sudah naik ke mobil bersama
almarhum Alhabib Umar Maula
khela, maka Guru Mulia memanggil Hb Nagib Bin Syeikh
Abubakar. Guru mulia berkata
bahwa beliau ingin saya dikirim
ke Tarim, Hadramaut, Yaman
untuk belajar dan menjadi
murid beliau. Guru saya Hb Nagib bin Syeikh
Abubakar mengatakan saya
sangat belum siap, belum bisa
bahasa arab, murid baru, dan
belum tahu apa-apa, mungkin
beliau salah pilih?

maka Guru Mulia menunjuk saya, “Itu…
anak muda yang pakai peci
hijau itu, itu yang saya
inginkan.” maka Guru saya Hb
Nagib memanggil saya untuk
jumpa beliau. Lalu Guru Mulia bertanya dari dalam mobil
yang pintunya masih terbuka,
“Siapa namamu?” dalam
bahasa arab tentunya. Saya
tak bisa menjawab karena
tak faham, maka guru saya Hb Nagib menjawab, “Kau
ditanya siapa namamu!” maka
saya jawab nama saya, lalu
Guru Mulia tersenyum.

Keesokan harinya saya jumpa
lagi dengan Guru Mulia di kediaman Almarhum Hb Bagir
Alattas. Saat itu banyak para
habaib dan ulama mengajukan
anaknya dan muridnya untuk
bisa menjadi murid Guru Mulia,
maka Guru Mulia mengangguk- angguk sambil kebingungan
menghadapi serbuan mereka.
Lalu Guru Mulia melihat saya
di kejauhan, lalu beliau
berkata pada almarhum Hb
Umar Maula khela, “Itu... anak itu... jangan lupa dicatat… ia
yang pakai peci hijau itu…!”

Guru Mulia kembali ke Yaman.
Saya pun langsung ditegur
guru saya, Hb Nagib bin Syekh
Abubakar, seraya berkata, “Wahai Munzir, kau harus
siap-siap dan bersungguh-
sungguh. Kau sudah diminta
berangkat, dan kau tak akan
berangkat sebelum siap.”
Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar Maula
khela ke pesantren, dan
menanyakan saya. Almarhum
Hb Umar Maulakhela berkata
pada Hb Nagib, “Mana itu
munzir anaknya Hb Fuad almusawa? Dia harus
berangkat minggu ini, saya
ditugasi untuk
memberangkatkannya.”
Maka Hb nagib berkata saya
belum siap, namun almarhum Hb Umar Maulakhela dengan
tegas menjawab, “Saya tidak
mau tahu, namanya sudah
tercantum untuk harus
berangkat, ini permintaan Al
Habib Umar bin Hafidh. Ia harus berangkat dalam dua
minggu ini bersama rombongan
pertama.”
Saya persiapkan pasport dll.,

namun ayah saya keberatan.
Ia berkata, “Kau sakit- sakitan, kalau kau ke Mekkah
ayah tenang, karena banyak
teman di sana. Namun ke
hadramaut itu ayah tak ada
kenalan, di sana negeri
tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yg menjaminmu?”
Saya pun datang mengadu
kepada Almarhum Al Arif billah
Alhabib Umar bin Hud Alattas.
Beliau sudah sangat sepuh
dan beliau berkata, “Katakan pada ayahmu, saya yang
menjaminmu, berangkatlah!”
Saya katakan pada ayah
saya, maka ayah saya diam,
namun hatinya tetap berat
untuk mengizinkan saya berangkat.

Saat saya mesti
berangkat ke bandara, ayah
saya tak mau melihat wajah
saya, beliau buang muka dan
hanya memberikan tangannya
tanpa mau melihat wajah saya. Saya kecewa namun
saya dengan berat tetap
melangkah ke mobil travel
yang akan saya naiki. Namun
saat saya akan naik, terasa
ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana
ayah saya berdiri di pagar
rumah dengan tangis melihat
keberangkatan saya. Beliau
melambaikan tangan tanda
ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya
sangat disayanginya dan
dimanjakannya, beliau berat
berpisah dengan saya. Saya
berangkat dengan airmata
sedih.

Saya sampai di Tarim,
Hadramaut, Yaman di
kediaman Guru Mulia. Beliau
mengabsen nama kami, ketika
sampai ke nama saya dan
beliau memandang saya dan tersenyum indah.
Tak lama kemudian terjadi
perang Yaman Utara dan
Yaman Selatan. Kami di yaman
selatan, pasokan makanan
berkurang, makanan sulit, listrik mati. Kami pun harus
berjalan kaki kemana-mana
menempuh jalan 3-4 km untuk
taklim karena biasanya
dengan mobil-mobil milik Guru
mulia, namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim.
Suatu hari saya dilirik oleh
Guru Mulia dan berkata,
“Namamu Munzir
(munzir=pemberi peringatan),”
saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi, “Kau akan
memberi peringatan pada
jamaahmu kelak!”

Maka saya tercenung dan
terngiang-ngiang ucapan
beliau, “Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu
kelak?” saya akan punya
jamaah? saya miskin begini
bahkan untuk mencuci
bajupun tak punya uang
untuk beli sabun cuci. Saya mau mencucikan baju
teman saya dengan upah
agar saya kebagian sabun
cucinya, malah saya dihardik,
“Cucianmu tidak bersih! Orang
lain saja yang mencuci baju ini.”
Maka saya terpaksa mencuci
dari air bekas mengalirnya
bekas mereka mencuci, air
sabun cuci yang mengalir
itulah yang saya pakai mencuci baju saya.

Hari demi hari Guru Mulia
makin sibuk, maka saya mulai
berkhidmat pada beliau, dan
lebih memilih membantu segala
permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat
menginap, dan segala masalah
rumah tangga santri. Saya
tinggalkan pelajaran demi
bakti pada Guru Mulia
membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman, ayah
saya sakit, dan telepon, beliau
berkata, “Kapan kau pulang
wahai anakku? aku rindu?”
Saya jawab, “Dua tahun lagi insya Allah ayah.”
Ayah menjawab dengan sedih
di telepon, “Duh… masih lama
sekali.” telepon ditutup, 3 hari
kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat
saya pamitan itu adalah
terakhir kali jumpa dengan
beliau… dan beliau buang muka
saat saya mencium tangan
beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar
dari kamar, keluar dari
rumah, dan berdiri di pintu
pagar halaman rumah sambil
melambaikan tangan sambil
mengalirkan airmata… duhai… kalau saya tahu itulah
terakhir kali saya melihat
beliau, rahimahullah.

Tak lama saya kembali ke
Indonesia, tepatnya pada
1998. Mulai dakwah sendiri di Cipanas, namun kurang
berkembang. Maka saya mulai
dakwah di Jakarta. Saya
tinggal dan menginap
berpindah-pindah dari rumah
kerumah murid sekaligus teman saya. Majelis malam
selasa saat itu masih
berpindah-pindah dari rumah-
kerumah. Mereka murid-murid
yang lebih tua dari saya dan
mereka kebanyakan dari kalangan awam. Maka walau
saya sudah duduk untuk
mengajar, mereka belum
datang, saya menanti,
setibanya mereka yang cuma
belasan saja, mereka berkata, “Nyantai dulu ya Bib,
ngerokok dulu ya, ngopi dulu
ya!” Saya terpaksa menanti
sampai mereka puas, baru
mulai Maulid Dhiya'ullami.
Jamaah makin banyak, mulai tak cukup di rumah-rumah,
maka pindah-pindah dari
musholla ke musholla.
Jamaah makin banyak, maka
tak cukup pula musholla. Mulai
berpindah pindah dari masjid ke masjid. Lalu saya membuka
majelis di hari lainnya dan
malam selasa mulai di
tetapkan di Masjid Almunawar.
Saat itu baru seperempat
masjid saja. Saya berkata,

“Jamaah akan semakin
banyak, nanti akan setengah
masjid ini, lalu akan memenuhi
masjid ini, lalu akan sampai
keluar masjid insya Allah.”
jamaah mengaminkan. Mulailah dibutuhkan kop surat,
untuk undangan dan lain
sebagainya. Maka majelis
belum diberi nama dan saya
merasa majelis dan dakwah
tak butuh nama. Mereka sarankan Majelis Hb Munzir
saja. Saya menolak, ya sudah,
MAJELIS RASULULLAH SAW saja.
Kini jamaah Majelis Rasulullah
sudah jutaan, di Jabodetabek,
Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Mataram, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, Singapura,
Malaysia, bahkan sampai ke
Jepang, dan salah satunya
kemarin hadir di majelis haul badr kita di monas, yaitu
Profesor dari Jepang yang
menjadi dosen di sana. Dia
datang ke Indonesia dan
mempelajari bidang sosial.
Namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa
dengan saya, karena ia
pengunjung setia web ini,
khususnya yang versi english.
Sungguh agung anugerah Allah
swt pada orang yg mencintai Rasulullah saw, yang
merindukan Rasulullah saw.
Itulah awal mula hamba
pendosa ini sampai majelis ini
demikian besar.

====

Selamat jalan wahai Guru kami tercinta Habibana Munzir bin Fuad Al Musawa..
Allahumma ya Allah ampunilah seluruh dosa
beliau,
maafkan seluruh kesalahan beliau,
terimalah amal ibadah beliau,
terimalah beliau sebagai hambaMu yg mulia disisiMu,
luaskan dn lapangkan
kubur beliau,
jadikanlah kubur beliau taman diantara taman Syurga Mu,
berilah kekuatan iman, kesabaran dan hikmah bagi keluarga beliau,
sahabat & kami selaku murid beliau...
Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar